Setiap orang yang hidupnya
bergantung kepada gaji adalah seorang buruh; sekalipun pangkatnya direktur
utama. Mengapa para direktur tidak ikut-ikutan demonstrasi untuk memperingati
tanggal 1 Mei sebagai hari buruh? Karena, orang yang karirnya bagus tidak lagi
disebut buruh. Sedangkan mereka yang karirnya buruk, biasanya memang disebut
sebagai buruh. Jika Anda seorang karyawan; maka pastikanlah bahwa Anda memang
layak untuk tidak menyandang gelar sebagai buruh. Bagaimana caranya?
Sederhana saja; bangunlah karir Anda
sampai ke titik dimana Anda layak dihormati dan dihargai tinggi. Agar bisa
membangun karir dengan baik, maka Anda harus membuang jauh-jauh mental
‘b-u-r-u-h’. Mengapa demikian? Karena mental b-u-r-u-h itu menyimpan 5 faktor
penghambat karir yang sangat mematikan. Apa sajakah kelima faktor itu? Berikut
ini uraiannya.
1. B=Bersembunyi dibalik topeng
‘nasib’. Baik atau buruknya karir seseorang sama sekali tidak ada hubungannya
dengan nasib. Perhatikan para pekerja gagal. Mereka menganggap bahwa mandeknya
karir dan bayaran mereka sudah menjadi nasib sehingga tidak terdorong untuk
menggeliat bangkit dari posisi rendahnya. Walhasil, dari tahun ke tahun tidak
ada perbaikan jabatan dan pendapatan signifikan yang mereka dapatkan. Jadilah
karyawan yang berani berjuang untuk memperbaiki karir sendiri karena nasib
selalu mengikuti ikhtiar yang Anda lakukan.
2. U=Ulet hanya ketika diawasi oleh
atasan. Sudah bukan rahasia lagi jika banyak sekali karyawan yang ulet, gigih,
dan giat hanya ketika ada atasannya saja. Tapi saat atasannya tidak ada; mereka
berleha-leha atau mengerjakan sesuatu yang tidak produktif pada jam kerja. Para
pegawai berdasi pun banyak yang memiliki perilaku seperti ini. Padahal, sikap
seperti ini jelas sekali menunjukkan jika mereka tidak layak untuk mendapatkan
tanggungjawab yang lebih besar. Jadilah karyawan yang bisa diandalkan, baik ada
atau tidaknya atasan; karena kualitas seseorang dinilai dari tanggungjawab
pribadinya ketika dia sedang sendirian.
3. R=Rendah diri. Kita sering keliru
menempatkan kerendahan hati dengan sifat rendah diri. Ketika berhadapan dengan
senior atau orang yang pendidikannya lebih tinggi, kita merasa kecil sekali.
Padahal sebagian besar manager atau direktur pada mulanya adalah orang-orang
yang menduduki posisi rendah seperti kebanyakan karyawan lainnya. Sifat rendah
diri mengungkung orang dalam kotak inferioritas sehingga kapasitas dirinya
tidak terdaya gunakan. Jadilah karyawan yang rendah hati, karena mereka yang
rendah hati memiliki kualitas diri yang tinggi, namun tetap bersikap arif,
positif dan konstruktif.
4. U=Unjuk rasa melampaui unjuk
prestasi. Unjuk rasa tidak selalu harus turun ke jalan. Protes soal kenaikan
gaji adalah contoh nyata unjuk rasa yang sering terjadi di kantor-kantor.
Menggunjingkan atasan dan managemen di kantin atau toilet juga merupakan bentuk
unjuk rasa yang tidak sehat. Perhatikan para karyawan yang tidak puas dengan
kebijakan perusahaan. Mereka berkasak-kusuk sambil mengkorupsi jam kerja.
Padahal, itu semakin menunjukkan kualitas buruk mereka. Jadilah karyawan yang
rajin unjuk prestasi, karena prestasi membuka peluang untuk mendapatkan
kesempatan dan pendapatan yang lebih besar.
5. H=Hitung-hitungan soal pekerjaan
dan imbalan. Banyak sekali karyawan potensial yang akhirnya gagal membangun
karirnya hanya karena merasa tidak dibayar dengan pantas. “Kalau gua digaji
cuma segini, ngapain mesti kerja keras?’ begitu katanya. Padahal, sikap seperti
itu tidak merugikan perusahaan lebih dari kerugian yang dialami oleh orang itu
sendiri. Mereka membuang peluang untuk mengkonversi potensi dirinya menjadi
karir yang cemerlang. Jadilah karyawan yang berfokus kepada kontribusi yang
tinggi, karena bayaran atau imbalan akan mengikutinya kemudian.
Jika Anda mampu membuang mental
‘b-u-r-u-h’ yang sudah saya jelaskan diatas, maka Anda tidak akan menjadi buruh
rendahan. Sebaliknya, Anda akan menjadi karyawan yang ketika pensiun nanti;
memiliki sesuatu yang layak untuk dibanggakan.